PERJANJIAN EKSTRADISI

Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi biasanya digunakan dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.

Pada umumnya, ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak.

Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut adalah ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung). Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.

B.       Definisi Ekstradisi Menurut Para Sarjana

L. Oppenheim menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.

J. G. Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.

 

C.      Sejarah Ekstradisi

Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari Mesir dengan Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya tahap-tahap permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal yang merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279 sebelum Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan diserahkan tidak dijatuhi hukuman.

Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap perkembangan lembaga ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang kita akui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek negatifnya. Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan, perbankan, kejahatan komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat yang cukup meresahkan masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga berpengaruh pada negara-negara lain.

Dengan demikian untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja sama antara negara-negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan misalnya, dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuh untuk memberantas kejahatan. Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.

Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.

Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi, negara-negara yang bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek pemberantasan kejahatan dimana individu sipelaku kejahatan tetap diberikan hak dan kewajiban. Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang modern memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Apalagi masalah hak asasi manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah merupakan wujud dari pengakuan hak asasi manusia untuk menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang.

Pada masa sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya perjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan penjahat-penjahat pelarian untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatan belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara negara-negara yang mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berarti bahwa adanya perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam melaksanakan penyerahan penjahat tersebut.

Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri. ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni:

Unsur Subjek

Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni:

  1. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan.
  2. Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.

Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state).

Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta (the resquithing State).

Unsur objek

Yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.

Unsur Tata cara dan Prosedur

Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati.

Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional.

 

 

 

Unsur Tujuan

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta.

Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.

 

D.      Ruang Lingkup Ekstradisi

Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Disatu sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi lain hal ini sangat berpengaruh pula terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan terhadapnya. Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akan dijatuhkan terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara bahkan lebih.

Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara dimana ia telah melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan kejahatan tersebut tidak dengan mudah menghukum dan menangkapnya dinegara lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada. Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum internasional.

Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih dikenal dengan ekstradisi. Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan. Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak.

Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum nasional. Dalam hukum internasional, sampai saat ini belum mengenal adanya suatu perjanjian internasional multilateral (International Convention) yang mengatur lembaga ekstradisi secara umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat internasional (International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja sama regional dibidang ekstradisi, misalnya:The Arab Leage Extradition Agreement Tahun 1952.The Inter America Convention ExtraditionEuropean Extradition Convention, dan lain-lain.

Memang diakui, agar ekstradisi mudah dilakukan maka keberadaan perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperluka. Dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walau demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahan seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dapat dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional.

Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikian itu umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (international courtesty), perlakuan timbal balik (reciprocity), juga berupa kemurahan hati (exgratia). Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral, multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain.

Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja. Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain sebagainya.

Namun bukan hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur mengenai tentang ekstradisi. Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain.

Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu sendiri.Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasionalberdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan.

E.       Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi

Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu.

Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara masing-masing kedua belah pihak. Apabila perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut. Permintaan untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal kepada negara diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada wakil negara diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan ataupun dalam konferensi internasional. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah merupakan tahap penjajakan saja. Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran dipomatik, harus ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman antara negara-negara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta, bila orang itu warga negara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga, dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakan negara yang diminta adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person)biasanya menolak untuk menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diserahkan kepada negara lain. Dengan perkataan lain warga negara yang telah melakukan kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of nationals).

Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu: Kejahatan agama.

Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offenc): Kejahatan politik, Kajahatan militer.Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalam menetapkan kejahatan-kejahatan apa yang dapat diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem, yaitu:

  1. Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu kejahatan mana yang dapat diekstradisi.
  2. Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisi.
  3. Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau maksimum hukumman yang dapat diekstradisi.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk melaksanakan ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip timbal balik yang disepakati.

F.      Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi

Azas-azas atau dasar-dasar yang dipakai dalam ekstradisi, apakah itu merupakan perjanjian ekstradisi bilateral atau multilateral maupun dalam undang-undang nasional suatu negara megenai ekstradisi pada pokoknya adalah sama. Dasar-dasar yang sama tersebut terus diikuti oleh negara-negara yang membuat perjanjian ekstradisi maupun yang merumuskan peraturan ekstradisi dalam perundang-perundangan.

Dengan demkian azas-azas yang sama ini telah dapat diterima dan diikuti sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi. Adapun azas-azas tersebut ialah: Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut juga diyakini dan diterima sebagai suatu kejahatan yang terhadapnya harus dijatuhi hukuman baik oleh negara peminta maupun negara diminta.

Dengan demikian apabila negara diminta memandang bahwa permintaan dari negara peminta terhadap orang yang perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan. Berikut beberapa asas yang ada :

Azas Kejahatan Ganda (Double Criminality)

kejahatan dinegara yang diminta maka negara tersebut tidak dapat menyerahkan orang yang diminta tersebut kepada negara peminta, karena hal ini akan melanggar azas kejahatan ganda yang telah diterima sebagai azas utama dalam suatu perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataan lain bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara. Azas ini berhubungan dengan azas yang pertama karena azas ini mengatur tentang penyerahan atas tuduhan kejahatan yang disebutkan dalam permintaan penyerahan pelaku kejahatan.

Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu kejahatan saja dan sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan atas kejahatan tersebut tidaklah menjadi masalah. Namun bagaimana jika sipelaku tersebut telah melakukan pembunuhan, sipelaku juga melakukan kejahatan penipuan, pemalsuan mata uang dan lain-lain yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk penyerahannya kepada negara peminta.

Untuk itulah harus ditentukan secara khusus oleh negara peminta atas dasar kejahatan apa sipelaku tersebut diminta untuk diserahkan, sekalipun semua jenis kejahatan yang dilakukan dapat dijadikan dasar untuk penyerahan tersebut. Oleh karena itu negara peminta dalam mengajukan permintaan penyerahan itu harus menegaskan untuk kejahatan apa saja orang tersebut diminta penyerahannya. Kemudian negara diminta mempertimbangkan apakah penyerahan dilakukan atau ditolak.

Azas Kekhusussan atau Specially

Sipelaku tersebut akan diserahkan maka negara diminta harus menegaskan pula untuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan yakni: Dalam hal peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku tersebut diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut sipelaku tidak dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiri adalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum bagi orang yang diminta. Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian politik maupun perundang-undangan mengenai ekstradisi. Terhadap kejahatan politik erat kaitannya dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yang tertuang dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusia yang dalam salah satu isinya ialah setiap orang berhak mencari dan menikmati perlindungan politik dari negara lain.

Meskipun Pasal tersebut tidak mewajibkan suatu negara untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu yang datang meminta

  • Negara diminta menyerahkan sipelaku tersebut berdasarkan semua kejahatan yang telah dituduhkan kepadanya.
  • Negara diminta hanya menyerahkan sipelaku berdasarkan beberapa atau sebagian perbuatan kejahatan yang dituduhkan kepada pelaku tersebut.

Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition of Political Criminal)

Dengan demikian negara peminta apabila memandang bahwa kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku yang melarikan diri tersebut sebagai kejahatan politik, maka sebaiknya tidak meminta kepada negara lain, karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan ditolak oleh negara diminta. Kalau persoalan hak azasi manusia menjadi cukup kompleks aplikasinya, karena hak azasi manusia dimasuki unsur politik, dan topik itu akan selalu menarik untuk dibicarakan sebahagian manusia baik oleh negara-negara yang telah benar-benar menghormati hak azasi manusia secara formal dan material ataupun bagi negara-negara yang kurang menghormati. Bagi negara yang sudah menghormati hak-hak azasi manusia akan dijadikan contoh kebaikannya, dan yang sebaliknya dijadikan intropeksi bagi negaranya.

Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition Nationality)

Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatan yang dilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib melindungi warga negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya sehingga warga negara tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama dengan apabila ia diadili dinegaranya sendiri.

Azas ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku kejahatan untuk tidak dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu peristiwa pidana dapat saja melibatkan lebih satu negara yang berhak atas yurisdiksi bagi kejahatan tersebut. Apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukumman dinegara dimana ia berada, maka negara peminta tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dinegara diminta. Karena tujuan ekstradisi adalah memberantas kejahatan dengan kerja sama tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati.

Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yang sama, yaitu tidak akan melakukan penyerahan apabila penuntutan atau pelaksanaan hukumman terhadap kejahatannya yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa menurut hukum dari salah satu pihak. Batasan waktu yang diberikan sehubungan dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap kadaluarsa apabila telah lewat waktunya yang seharusnya berlaku. Peristiwa tersebut dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang seakan-akan tidak pernah terjadi. Yaitu suatu prinsip yang menyatakan apabila negara menuntut suatu ekstradisi atau kejahatan yang diancam dengan hukumman mati maka ekstradisi demikian tidak dapat diterima. Yakni suatu azas yang menyatakan tempat dimana kejahatan terjadi akan mendapat prioritas utama bilamana terdapat lebih dari satu negara yang menuntutsuatu ekstradisi. Hal ini berarti tuntutan ekstradisi yang diutamakan ialah tuntutan dari negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan.

Dari berbagai azas yang mewarnai peraturan ekstradisi, dapat dilihat bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil dengan penuh pertimbangan dan jaminan demi tercapainya tujuan ekstradisi itu sendiri yaitu yakni memberantas kejahatan secara kerja sama untuk mewujudkan masyarakat internasional yang aman, tertib, dan adil. Disamping itu azas-azas ini telah mendapat pengakuan dari negara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin agar hak-hak azasi manusia tidak dilanggar dalam pelaksanaannya.

Azas yang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan tunduk kepada hukum nasional dari negara masing-masing. Azas yang menyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat saja ditolak bila kejahatan yang dilakukan seluruhnya atau sebagian berada dalam yurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini tampaknya mempunyai kaitan dengan azas Lex Loci Delictus mengenai tempat dimana kejahatan itu dilakukan. Jelasnya disini faktor tempat sangat mempengaruhi kemungkinan dapat tidaknya permintaan ekstradisi suatu negara dikabulkan. Azas yang menyatakan bila mana terjadi ekstradisi kenegara ketiga, maka hanya dapat dilakukan dengan izin dari negara yang diminta.

Perjanjian ekstradisi indonesia

Perjanjian ekstradisi di Indonesia muncul sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan hukum maupun politis. Kepentingan hukum yang dimaksud adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi para pelaku kejahatan yang melarikan diri ke wilayah yuridiksi negara lain. Selain itu untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dari tindakan kejahatan yang dimaksud. Adapun kepentingan politisnya antara lain untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara lain agar tercipta komunikasi politik yang lebih baik.

Munculnya perjanjian ekstradisi ini juga tentunya tidak terlepas dari implementasi asas hukum internasional sebagaimana yang disampaikan oleh Hugo Grotius, yakni asas au dedere au punere. Artinya, pengadilan terhadap pelaku kejahatan dapat dilakukan oleh negara tempat kejahatan itu terjadi (locus delicti) atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yuridiksi untuk mengadili pelaku tersebut (Abdussalam, 2006:28).

Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam UU No.1 Tahun 1979. Sampai saat ini, Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, namun ada dua perjanjian yang belum diratifikasi.

Perjanjian-perjanjian tersebut antara lain:

  • Perjanjian ekstradisi RI-Malaysia: UU RI No. 9 Tahun 1974
  • Perjanjian ekstradisi RI-Philipina: UU RI No. 10 Tahun 1976
  • Perjanjian ekstradisi RI-Thailand: UU RI No. 2 Tahun 1978
  • Perjanjian ekstradisi RI-Australia: UU RI No. 8 Tahun 1994
  • Perjanjian ekstradisi RI-Hongkong: UU RI No. 1 Tahun 2001
  • Perjanjian ekstradisi RI-Korea Selatan: (Belum diratifikasi)
  • Perjanjian ekstradisi RI-Singapura: (Belum diratifikasi)
  • Perjanjian ekstradisi RI-India 25 januari 2011

Dalam makalah ini kami hanya akan membahas 3 perjanjian saja:

 

  1. A.     Indonesia – India Sepakati Perjanjian Ekstradisi

Perjanjian ekstradiksi dengan pemerintah India berlangsung Selasa 25 Januari 2011.  Kesepakatan tersebut diteken Menteri Luar Negeri kedua negara di hadapan  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Manmohan Singh di Hyderaba House, New Delhi, India.

Dengan kesepakatan ini pelaku kriminal di Indonesia yang melarikan diri ke India akan ditangkap polisi India dan diserahkan ke aparat hukum RI. Demikian juga sebaliknya.

Selain kesepakatan hukum tersebut, sepuluh kesefahaman lain kerjasama bilateral negara di bidang pendidikan, perikanan, perhubungan, perdagangan, riset dan perminyakan juga disepakati. Termasuk juga perjanjian kerjasama Dewan Pers India dan Indonesia yang ditandatangani Prof. Dr. Bagir Manan dan G.N. Ray.

 

  1. B.      Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Philippina (10 Pebruari 1976)

Untuk mengembangkan kerja sama yang efektif dalam penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi, perlu diadakan kerja sama dengan negara tetangga, agar orang-orang yang dicari atau yang telah dipidana dan melarikan diri ke luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari hukuman yang seharusnya diterima.

Kerja sama yang efektif itu hanya dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration of justice) yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa pembangunan nasional dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya dengan ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan tersebut besar pengaruhnya terhadap pembangunan nasional tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah Indonesia telah

mengadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah Malaysia, yang merupakan perjanjian yang pertama bagi Indonesia.

Disamping itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan dengan beberapa negara,

khususnya negara-negara ASEAN mengenai kemungkinan untuk mengadakan perjanjian ekstradisi. Selain dengan Negara-negara ASEAN juga akan diadakan Perjanjian Ekstradisi denganNegara-negara lain.

Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional

mengenai ekstradisi seperti:

  1. Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana, baik menurut sistem hukum Indonesia maupun sistem hukum Philipina (Double Criminality);
  2. Kejahatan politik tidak diserahkan;
  3. Hak untuk tidak menyerahkan warga negara sendiri, dan lain-lainnya.

Disamping itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Prosedur penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional masing-masing negara.

Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini disertai dengan Protokol dimana ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah pemilik tunggal dari pulau yang dikenal sebagai Las Palmas (P.Miangas) sebagai hasil dari putusan perwasitan tertanggal 4 April 1928 yang menyelesaikan sengketa antara Amerika Serikat dan Negeri Belanda.Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran yang berlainan atas bagian dan Perjanjian Ekstradisi ini yang mengenai hal wilayah.

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIKINDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:

Pasal 1

Mengesahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Philippina serta

Protokol tertanggal 10 Pebruari 1976, yang salinan naskahnya dilampirkan pada undang-undang

ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang

ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 26 Juli1976

PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,

Ttd.

SOEHARTO

REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:

Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara mereka dalam masalah ekstradisi.

Telah mencapai Persetujuan sebagai berikut:

Pasal I

KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI

Masing-masing pihak yang mengadakan Perjanjian bersepakat untuk saling menyerahkan dalam hal-hal dan sesuai dengan syarat-syarat yang tercantum dalam Perjanjian ini, orang-orang yang diketemukan dalam wilayahnya yang didakwa, dituntut atau dinyatakan bersalah atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal II Perjanjian ini yang dilakukan dalam wilayah Pihak lainnya atau diluar wilayah tersebut menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal IV.

Pasal II

KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN

1.    Orang-orang yang diserahkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian ini adalah mereka yang didakwa, dituntut atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dibawah ini, dengan ketentuan bahwa kejahatan itu menurut hukum kedua pihak yang mengadakan perjannjian dapat dihukum dengan hukuman mati atau perampasan kemerdekaan dengan jangka waktu diatas satu tahun:

  1. Pembunuhan berencana, pembunuhan bapak atau ibu sendiri, pembunuhan anak, dan pembunuhan lainnya.
  2. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan, persetubuhan yang tidak sah dengan atau terhadap wanita dibawah umur yang ditentukan oleh hukum pidana dari masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian.
  3. Penculikan, penculikan anak.
  4. Penganiayaan berat yang mengakibatkan cacat badan, penganiayaan, pembunuhan berencana yang gagal atau pembunuhan yang gagal.
  5. Penahanan secara melawan hukum atau sewenang-wenang
  6. Perbudakan, perhambaan
  7. Perampokan, pencurian
  8. Penggelapan, penipuan
  9. Pemerasan, ancaman, paksaan
  10. Penyuapan, korupsi
  11. Pemalsuan dokumen, sumpah palsu
  12. Pemalsuan barang, pemalsuan uang
  13. Penyelundupan
  14. Menimbulkan kebakaran, pengrusakan barang
  15. Pembajakan udara, pembajakan laut, pemberontakan di kapal
  16. kejahatan yang bersangkutan dengan narkotika, obat-obat berbahaya atau terlarang atau bahan-bahan kimia terlarang
  17. Kejahatan yang bersangkutan dengan senjata api, bahan-bahan peledak atau bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.

2.    Penyerahan juga akan dilakukan untuk penyertaan dalam salah satu kejahatan yang disebutkan dalam Pasal ini, tidak saja sebagai pelaku utama atau peserta, melainkan juga sebagai pembantu, demikian juga halnya dengan percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut diatas, bila penyertaan, percobaan atau permufakatan jahat itu dapat dihukum menurut hukum kedua pihak yang mengadakan perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan diatas satu tahun.

3.     Penyerahan dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan Pihak yang diminta terhadap sesuatu kejahatan lainnya, yang dapat diserahkan sesuai dengan hukum Kedua Pihak yang mengadakan perjanjian.

4.     Jika penyerahan diminta untuk suatu kejahatan yang tercantum dalam ayat A, B atau C Pasal ini dan kejahatan itu dapat dihukum menurut hukum kedua pihak yang mengadakan Perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan diatas satu tahun, kejahatan tersebut dapat diserahkan menurut ketentuan-ketentuan Perjanjian ini tidak perduli apakah hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian menempatkan kejahatan itu dalam penggolongan kejahatan yang sama atau menamakannya dengan istilah yang sama, asal saja unsur-unsurnya sesuai dengan salah satu kejahatan-kejahatan atau lebih yang disebutkan dalam Pasal ini menurut hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian ini.

Pasal III

TEMPAT DILAKUKANNYA KEJAHATAN

Pihak yang diminta dapat menolak penyerahan orang yang diminta untuk kejahatan yang menurut hukum Pihak yang diminta dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayahnya atau ditempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya.

Pasal IV

WILAYAH

1.    Didalam Perjanjian ini, yang dimaksud wilayah dari Pihak yang mengadakan Perjanjian, ialah semua wilayah dibawah yurisdiksi Pihak yang mengadakan Perjanjian itu, meliputi ruang angkasa, wilayah perairan dan landas kontinen dan kendaraan-kendaraan air dan pesawat udara yang terdaftar di negara Pihak yang mengadakan Perjanjian, bila pesawat udara itu sedang dalam penerbangan atau bila kendaraan air itu berada di laut bebas waktu kejahatan itu dilakukan. Menurut Perjanjian ini, sebuah pesawat udara akan dianggap berada dalam penerbangan pada saat ketika pintunya ditutup untuk embarkasi sampai saat ketika pintu itu dibuka untuk disembarkasi.

2.    Bila kejahatan yang dimintakan penyerahannya itu dilakukan diluar wilayah Negara Peminta, pejabat pelaksana dari Negara yang Diminta berwenang untuk melakukan penyerahan jika menurut hukum dari negara yang diminta kejahatan itu dilakukan itu dalam keadaan yang sama juga diancam dengan hukuman.

3.    Penentuan wilayah Pihak yang diminta diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya.

Pasal V

KEJAHATAN POLITIK

1.    Penyerahan tidak akan dilakukan jika kejahatan yang dimntakan penyerahan itu dianggap oleh Pihak yang diminta sebagai kejahatan politik.

2.    Jika timbul persoalan apakah suatu perkara merupakan suatu kejahatan politik, maka keputusan para pejabat dari negara yang diminta akan menentukan.

3.    Menghilangkan atau percobaan menghilangkan nyawa Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dari masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian atau anggota keluarganya tidak akan dianggap sebagai kejahatan politik sebagaimana dimaksud oleh Perjanjian ini.

Pasal VI

PENYERAHAN WARGA NEGARA

1.    masing-masing pihak mempunyai hak untuk menolak penyerahan warga negaranya.

2.    Jika Pihak yang Diminta tidak menyerahkan warganegaranya, Pihak itu atas permintaan Pihak Peminta wajib menyerahkan perkara bersangkutan kepada pejabat yang berwenang dari pihak yag diminta untuk penuntutan. Untuk maksud ini berkas perkara-berkas perkara, keterangan-keterangan dan bukti-bukti mengenai kejahatan itu wajib diserahkan oleh Pihak Peminta kepada Pihak yang diminta.

3.    Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat B pasal ini, Pihak yang diminta tidak akan diwajibkan untuk menyerahkan perkara itu kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan penuntutan jika pejabat yang berwenang itu tidak mempunyai yurisdiksi.

Pasal VII

PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN UNTUK MENYERAHKAN

Penyerahan tidak akan dilakukan dalam salah satu dari hal-hal sebagai berikut:

1.    Bila orang yang dimintakan penyerahannya telah diadili dan dibebaskan atau telah menjalani hukumannya di negara ketiga untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya.

2.    Bila penuntutan atau pelaksanaan hukuman untuk kejahatan telah gugur karena kadaluarsa menurut salah satu dari Pihak yang mengadakan Perjanjian.

3.    Bila kejahatan merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum atau peraturan-peraturan militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum

Pasal VIII

LARANGAN PENGULANGAN PENUNTUTAN ATAU PERADILAN

1.    Penyerahan juga tidak akan dilakukan dalam salah satu hal berikut ini : Bila putusan terakhir pengadilan sudah dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang dari Pihak yang diminta terhadap orang yang diminta bertalian dengan kejahatan atau kejahatan-kejahatan yang dimintakan penyerahannya.

2.    Bila orang yang dimintakan penyerahannya sedang atau telah dituntut atau telah diadili dan dibebaskan atau dihukum oleh Negara yang diminta untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya.

Pasal IX

AZAS KEKHUSUSAN

Seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dihukum atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum penyerahannya, selain daripada kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:

1.    Bila Pihak yang diminta menyerahkan orang itu menyetujuinya, permohonan persetujuan disampaikan kepada Pihak yang diminta, disertai dengan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII. Persetujuan akan diberikan jika kejahatan itu termasuk kejahatan yang dapat dimintakan penyerahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal II Perjanjian ini; dan

2.    Bila orang itu setelah mempunyai kesepakatan untuk meninggalkan wilayah Pihak kepada siapa ia diserahkan, tidak menggunakan kesempatan itu dalam waktu 45 hari setelah pembebasannya, atau kembali lagi ke wilayah itu sesudah ia meninggalkannya.

Pasal X

HUKUMAN MATI

Jika kejahatan yang dimintakan penyerahannya dapat dihukum dengan hukuman mati menurut hukum Pihak Peminta, tetapi jika untuk kejahatan itu tidak ditentukan hukuman mati oleh hukuman Pihak yang diminta atau jika hukuman mati biasanya tidak dilaksanakan, maka penyerahan dapat ditolak kecuali apabila pihak peminta dapat memberikan jaminan yang oleh Pihak yang diminta dipandang cukup bahwa hukuman mati tidak akan dilaksanakan.

Pasal XI

PENAHANAN SEMENTARA

1.    Dalam keadaan mendesak pejabat yang berwenang dari Pihak Peminta dapat meminta penahanan sementara terhadap seseorang yang dicari Pejabat-pejabat yang berwenang dari Pihak yang diminta akan mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukumnya.

2.    Dalam permintaan untuk penahanan sementara diterangkan bahwa dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII tersedia dan bahwa ada maksud untuk menyampaikan pemintaan penyerahan. Diterangkan juga untnuk kejahatan apa penyerahan itu akan diminta, bila dan dimana kejahatan itu dilakukan dan sedapat mungkin wajib memuat uraian tentang orang yang dicari.

3.    Permintaan untuk penahanan sementara disampaikan di Indonesia kepada National Central Bureau (NCB) Indonesia/ Interpol dan di Philipina kepada National Bureau of Investigation atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram atau melalui international Criminal Police Organization (Interpol).

4.    Pejabat Pihak Peminta akan diberitahukan dengan segera keputusan atas permintaannya.

5.    Penahanan sementara dapat diakhiri, jika dalam waktu 20 hari setelah penahanan Pihak yang diminta tidak menerima permintaan penyerahan dan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII.

6.    Pembebasan seseorang dari penahanan sementara tidak menghalangi penahanan kembali dan penyerahan jika permintaan untuk penyerahan diterima sesudah itu.

Pasal XII

PENYERAHAN ORANG YANG AKAN DISERAHKAN

1.     Pihak yang diminta akan memberitahukan keputusannya tentang permintaan penyerahan kepada pihak peminta melalui saluran diplomatik.

2.     Untuk setiap permintaan yang ditolak wajib diberikan alasan-alasannya.

3.     Jika permintaan disetujui, Pihak peminta wajib diberitahu tentang tempat dan tanggal penyerahan dan lamanya orang yang bersangkutan ditahan untuk maksud penyerahan.

4.     Jika orang yang diminta penyerahannya tidak diambil pada tanggal yang ditentukan, maka dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam ayat (5) pasal ini ia dapat dilepaskan sesuai melampaui 15 hari dan bagaimanapun juga wajib dilepaskan sesuah melampaui 30 hari dan pihak yang diminta dapat menolak penyerahannya untuk kejahatan yang sama.

5.     Jika keadaan diluar kekuasaannya tidak memungkinkan suatu Pihak untuk menyerahkan atau mengambil orang yang bersangkutan, maka pihak itu wajib memberitahukan Pihak lainnya. Kedua Pihak akan menetapkan bersama tanggal lain untuk penyerahan. Dalam hal demikian akan berlaku ketentuan-ketentuan dari ayat (4) Pasal ini.

Pasal XIII

PENYERAHAN YANG DITUNDA

Pihak yang diminta, sesudah mengambil keputusan tentang permintaan penyerahan dapat menunda penyerahan orang yang diminta, supaya orang itu dapat diperiksanya, atau jika ia sudah dijatuhi hukuman, supaya orang itu dapat menjalani hukumannya dalam wilayah Pihak itu untuk kejahatan lain dari pada kejahatan yang dimintakan penyerahannya.

Pasal XIV

PENYERAHAN BARANG

1.    Pihak yang diminta, sepanjang hukumannya memperbolehkan dan atas permintaan dari Pihak peminta wajib menyita dan menyerahkan barang:

1.     yang mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian, atau

2.     yang diperbolehkan sebagai hasil dari kejahatan itu dan yang terdapat pada orang yang dituntut pada waktu penahanan dilakukan atau yang diketemukan sesudah itu.

2.    Barang yang disebut dalam ayat (1) Pasal ini wajib diserahkan, sekalipun ekstradisi yang telah disetujui tidak dapat dilakukan karena kematian orang yang diminta penyerahannya atau karena ia melarikan diri.

3.    Apabila barang tersebut dapat disita atau dirampas dalam wilayah dari Pihak yang diminta, maka dalam hubungan dengan proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, pihak ini dapat menahannya untuk sementara atau menterahkannya sengan syarat bahwa barang itu akan dikembalikan.

4.    Setiap hak yang mungkin diperoleh Pihak yang diminta atau negara lain atas barang tersebut wajib dijamin. Dalam hal demikian, barang tersebut wajib dikembalikan tanpa biaya kepada pihak yang diminta secepat mungkin sesudah pemeriksaan pengadilan selesai.

Pasal XV

TATA CARA

Tata cara mengenai penyerahan dan penahanan sementara dari orang yang diminta penyerahannya, akan tunduk semata-mata pada hukum Pihak yang diminta.

Pasal XVI

BIAYA-BIAYA

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam wilayah pihak yang diminta berkenaan dengan penyerahan akan ditanggung oleh Pihak itu.

Pasal XVII

SURAT PERMINTAAN DAN DOKUMEN-DOKUMEN YANG DIPERLUKAN

1.    Permintaan penyerahan wajib dinyatakan secara tertulis dan dikirim di Indonesia kepada Menteri Kehakiman dan di Philipina kepada Secretary of Justice, melalui saluran diplomatik.

2.    Permintaan penyerahan wajib disertai:

1.      Lembaran asli atau salinan yang disahkan dari penghukuman dan pidana yang dapat segera dilaksanakan atau surat perintah penahanan atau surat perintah lainnya yang mempunyai akibat yang sama dan dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan dalam hukum Pihak Peminta

2.      Keterangan dari kejahatan yang dimintakan penyerahannya, waktu dan tempat kejahatan dilakukan, uraian yuridis dan penunjukkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan diuraikan secermat mungkin, dan

3.      Salinan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau jika ini tidak mungkin suatu keterangan tentang hukum yang bersangkutan dan uraian secermat mungkin dari orang yang diminta penyerahannya bersama-sama dengan keterangan lain apapun juga yang dapat membantu menentukan identitas dan kebangsaannya.

3.    Dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penyerahan akan dibuat dalam Bahasa Inggris.

Pasal XVIII

PERMINTAAN LEBIH DARI SATU

Pihak yang mengadakan perjanjian yang menerima dua permintaan atau lebih untuk penyerahan orang yang sama baik untuk kejahatan yang sama maupun untuk kejahatan yang berbeda, akan menentukan Negara-negara Peminta mana Pihak tersebut akan menyerahkan orang yang dicari, dengan mempertimbangkan keadaan dan terutama kemungkinan penyerahan kemudian diantara Negara-negara peminta, sifat beratnya setiap kejahatan, tempat dilakukannya kejahatan, kewarganegaraan orang yang dicari, tanggal diterimanya permintaan, dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi antara Pihak itu dengan Negara atau Negara-negara peminta lainnya.

Pasal XIX

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Setiap perselisihan yang timbul antara kedua Pihak karena penafsiran dan pelaksanaan dari Perjanjian ini akan diselesaikan secara damai dengan musyawarah atau perundingan.

Pasal XX

KETENTUAN PERALIHAN

Suatu kejahatan yang telah dimulai sebelum tanggal Perjanjian ini mulai berlaku akan tetapi diselesaikan setelah tanggal perjanjian ini mulai berlaku akan diserahkan sesuai dengan Perjanjian ini.

Pasal XXI

MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN

Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal penukaran Piagam Ratifikasi.

Pasal XXII

BERAKHIRNYA PERJANJIAN

Perjanjian ini dapat diakhiri setiap waktu oleh salah satu Pihak dengan memberitahukan maksud untuk melakukan itu 6 (enM0 bulan sebelumnya. Pengakhiran Perjanjian yang demikian itu tidak akan menghalangi statu proses yang telah dimulai sebelum pemberitahuan demikian dilakukan.

UNTUK MENYAKSIKANNYA, yang bertanda tangan di bawah ini yang dikuasakan secara sah oleh masing-masing Pemerintahnya telah menandatangani Perjanjian ini.

Dibuat dalam rangkap dua di Yakarta pada tanggal sepuluh Februari 1976, dalam bahasa Indonesia, Philipina dan Bahasa Inggris, semua naskah adalah sama-sama sahnya. Dalam hal terjadi perbedaan tafsiran, maka nazca bahasa Inggris yang menentukan.

 

  1. C.      Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik Filipina Tentang Kegiatan Kerjasama Di Bidang Pertahanan Dan Keamanan (agreement Between The (UU 20 thn 2007)

Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan dan keamanan merupakan faktor yang sangat fundamental dalam menjamin kelangsungan hidup bernegara. Ketidakmampuan mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri menyebabkan suatu negara tidak dapat mempertahankan kedaulatannya.

Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara. Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, kerja sama internasional melalui berbagai bentuk perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral antara lain kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari.

Peningkatan kemampuan pertahanan dan keamanan Negara memerlukan kerja sama bilateral antarnegara sahabat yang dilaksanakan berdasarkan prinsip saling menguntungkan, persamaan, dan penghormatan penuh atas kedaulatan negara masing-masing. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengadakan kerja sama dengan Pemerintah Republik Filipina dalam bidang pertahanan dan keamanan melalui persetujuan bersama yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Agustus 1997 yang pengesahannya dengan Undang-Undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) tergabung dalam satu lembaga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Setelah perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Pasal 30 Undang-Undang Dasar tersebut, tugas pertahanan dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedangkan tugas keamanan dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Karena pada saat ditandatanganinya Persetujuan antara kedua negara, Angkatan Bersenjata di Indonesia masih menggabungkan kekuatan militer dan polisi yang secara administratif dikoordinasikan oleh Menhankam, maka yang dimaksud dengan Angkatan Bersenjata di dalam Persetujuan ini meliputi TNI sebagai pengemban tugas pertahanan dan POLRI sebagai pengemban tugas keamanan.

Beberapa bagian penting dalam persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Filipina, antara lain:

  1. Kerja sama antara kedua badan pertahanan dan keamanan, meliputi peningkatan di bidang pendidikan, latihan bersama, operasi di daerah perbatasan, sumber daya manusia, kerja sama operasi, komunikasi, teknologi pertahanan, dan sistem dukungan logistik.
  2. Pembentukan Komite Bersama yang mempunyai tugas mengkaji dan mengidentifikasi bidang kerja sama, memprakarsai dan mengusulkan kegiatan bersama, mengoordinasikan, memantau dan mengendalikan kegiatan yang telah disetujui, serta memecahkan permasalahan yang timbul dari pelaksanaan persetujuan.
  3. Kedua belah pihak melindungi hak milik industri dan hak cipta terhadap penggunaan dan personel yang tidak berwenang.
  4. Perlindungan terhadap informasi rahasia dan peralatan yang diperoleh dari kerangka persetujuan, kecuali hanya diberikan melalui saluran resmi atau saluran lain yang telah disetujui oleh para Ketua Komite Bersama.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum perjanjian internasional dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut;

1.    sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan keluar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum Kepurusan Presiden karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain.

2.    adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan UU.

3.    perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU, sehingga perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UU.

4.    Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat perjanjian internasional yang menimbulkan hakdan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan,

5.    pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk atau wadah UU menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera di buat aturan yang baru.

Saran

Mungkin dalam makalah ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dari pembaca sekalian.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2158086-pengertian-perjanjian-internasional/#ixzz1kSucpVlf

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/01/02/green-hilton-memorial-agreement-geneva-1963/

http://jurnalgri.wordpress.com/2010/01/29/perjanjian-renville/

makalah ekstradisi hukum internasional « kitakuliah.htm

Makalah Perjanjian Internasional ~ WELCOME……htm

Tinggalkan komentar